"Sekolah kami masih banyak kekurangan guru. Sarana lain seperti laboratorium juga belum ada. Kami berusaha melakukan upaya semaksimal mungkin meski dihadapkan pada banyak keterbatasan," kata Kepala SMA PGRI 2 Sampit, Rohmad Widiyanto di Sampit, Minggu.
SMA PGRI 2 Sampit di Kecamatan Seranau adalah salah satu dari sekian banyak sekolah yang dihadapkan pada berbagai keterbatasan. SMA PGRI 2 Sampit merupakan SMA satu-satunya di kecamatan itu.
Kecamatan Seranau terisolasi jalur darat dari pusat Kota Sampit, padahal letaknya dengan pusat kota hanya dipisahkan oleh Sungai Mentaya. Untuk beraktivitas ke pusat kota, masyarakat harus menggunakan transportasi sungai.
Tidak terkecuali bagi anak-anak yang memilih sekolah di pusat kota. Tiap hari mereka harus menyeberang sungai menumpang kelotok atau feri penyeberangan. Anak lainnya memilih sekolah di SMA PGRI 2 Sampit.
Saat ini SMA PGRI 2 Sampit memiliki 167 siswa dan 14 guru. Sebagian besar guru merupakan tenaga honor yang dibiayai yayasan atau sekolah. Jumlah itu belum mencukupi namun anggaran yang ada tidak mampu lagi membiayai penambahan guru.
Dampaknya, satu orang guru mengajar dua hingga tiga mata pelajaran. Konsekuensinya, mereka juga harus mengajar mata pelajaran yang sebenarnya bukan bidang keilmuan mereka, namun harus dilakukan agar siswa tetap bisa belajar.
Seharusnya, tiap mata pelajaran diajarkan oleh guru yang latar belakang pendidikannya memang bidang tersebut. Saat ini SMA PGRI 2 Sampit belum memiliki guru mata pelajaran Biologi, Seni, Sosiologi, Pejarah dan PKM.
"Yang paling mendesak kami butuhkan adalah laboratorium IPA, Fisika dam Kimia. Kami sudah mengusulkan ke pemerintah kabupaten dan pusat namun belum dikabulkan. Ruang perpustakaan sudah ada, namun digunakan untuk ruang guru karena belum ada ruang guru," kata Rohmad.
Pihak sekolah, siswa dan masyarakat berharap pemerintah membantu memenuhi kebutuhan guru dan fasilitas sekolah tersebut. Ini untuk mewujudkan tekad pemerintah untuk melakukan pemerataan mutu pendidikan di kabupaten ini.
Editor: Ronny
COPYRIGHT © ANTARA 2016
0 Response to "Sekolah Dengan Penuh Keterbatasan, Sebuah Ironi Di Pelosok Kotim"
Posting Komentar